Sunday, November 4, 2007
Graffiti Art atau Vandalism
Graffiti dahulunya adalah dianggap seperti pedagang kaki lima yang hanya bisa merusak keindahan/pemandangan kota(VANDALISM)....tetapi di zaman sekarang ,,graffiti sudah dianggap sebagai KARYA SENI(ART)...
Sebenarnya...apakah graffiti itu art atau vandalism....??
Sebuah tanda tanya besar bagi orang yang belum menguasai apa arti graffiti...
di sini anda dapat mengetahi itu...!!
Dinding-dinding di sepanjang Jalan Tamblong yang semula putih bersih, kini sedikit berwarna. Kini, selain dipenuhi oleh "flyers" dan poster yang ditempel sembarangan, coretan-coretan jahil yang dibuat dengan cat semprot, juga mulai memenuhi dinding-dinding tersebut. Bikin mata orang-orang yang lalu lalang, mau nggak mau seperti tersihir untuk melihat atau sekadar melirik. Katanya sih, itu adalah graffiti, coretan yang dibuat untuk mengekspresikan kebebasan.
Graffiti yang berasal dari bahasa Yunani "graphein" (menuliskan), diartikan oleh wikipedia.org sebagai coretan pada dinding atau permukaan di tempat-tempat umum, atau tempat pribadi. Coretan tersebut, bentuknya bisa berupa seni, gambar, atau hanya berupa kata-kata. Graffiti yang banyak bertebaran di jalanan kota Bandung, masih sebatas coretan kata-kata yang merupakan identitas geng atau malah hanya berupa nama. "Itu masih bisa dikategorikan sebagai seni, walau mungkin pada levelnya berbeda, ya," ungkap Roy, seorang pelaku graffiti yang sempat belia temui ketika membuat satu graffiti di sebuah distro di bilangan Jalan Burangrang, Jumat (9/12).
Penggunaan cat semprot untuk bikin sebuah graffiti, sudah mulai dikenal di New York, akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan cat semprot, dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang bernama Taki yang tinggal di 183rd Street Washington Heights, selalu menuliskan namanya, entah itu di dalam kereta subway, atau di bagian luar dan dalam bis. Taki183, gitu bunyi tulisan yang ia buat menggunakan spidol. Taki ini seperti ingin nunjukkin identitas dirinya. 183 yang ia tulis setelah namanya, nunjukkin tempat tinggalnya.
Gara-gara coretannya tersebut, orang-orang di seluruh kota jadi kenal dengan Taki, lewat coretan-coretan misteriusnya. Di tahun 1971, mister Taki ini diinterview oleh sebuah majalah terbitan New York. Dari situlah, kepopuleran Taki diikuti oleh anak-anak seluruh New York. Anak-anak ini tertarik karena kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas mereka --disebut juga tagging-- pada bus atau kereta yang melewati seluruh kota. Semakin banyak nama atau identitas seorang anak, sudah pasti ia akan semakin populer.
Setelah spidol, media yang kemudian biasa digunakan adalah cat semprot, yang dipakai untuk nge-bomb (istilah untuk menyemprot) bagian luar kereta. Karena semakin banyaknya orang-orang yang bikin tagging, nggak heran kalau setiap writers, pengen punya style sendiri. Dari situ, mereka nambahin warna-warna yang eyecatching, efek-efek khusus, bahkan mereka mencoba untuk menuliskan namanya lebih besar. Dengan bantuan cat semprot, pengerjaan graffiti ini lebih cepet beres.
Makanya, untuk mengantisipasi tagging yang mulai mewabah, pihak kepolisian setempat sampai melarang penjualan cat semprot pada anak-anak di bawah umur. Saking banyaknya pelaku graffiti, di Meksiko pun diberlakukan aturan serupa. Bahkan, setiap pembeli cat semprot harus menunjukkan identitas yang jelas dan menyertakan alasan untuk apa cat semprot itu digunakan.
"Bikin graffiti di public space itu seperti punya gengsi sendiri. Selain itu adrenalin bakal terpacu, karena takut dikejar polisi atau gangster," kenang Roy, yang pernah ke-gap sama gangster pas bikin graffiti di public space. Yup. Selalu public space yang menjadi sasaran para seniman jalanan ini untuk berkreasi. "Sebagian orang ada yang nganggep graffiti sebagai karya seni, tapi nggak sedikit juga yang bilang kalau coretan-coretan itu malah ngerusak," kata Radi, seorang mahasiswa seni lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.
Jika graffiti ini dilakukan tanpa seizin pemilik tempat, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan vandal. Mungkin banyak di antara Belia yang belum tau apa itu arti vandalisme. Vandalisme bisa diartikan sebagai tindakan yang merusak properti orang lain. It means, graffiti atau mural yang dilakukan tanpa izin di tempat-tempat umum, bisa dikategorikan sebagai vandalisme. Sementara, banyak orang yang berpendapat, kalau graffiti di dinding-dinding jalan, masih lebih baik daripada dinding-dinding tersebut kotor, tidak terawat, dan penuh dengan tempelan flyers atau brosur-brosur yang nggak penting.
Kalau Belia lewat Jalan Siliwangi, mata terasa lebih segar karena ngeliat mural di sepanjang dinding jalan, pasti setuju kalau karya seni yang seperti itu bukan termasuk perbuatan vandal. "Iyalah. Soalnya mural di Siliwangi itu legal kok. Pihak Pemda, sekitar dua tahun lalu, pernah ngasih proyek itu buat kita," kata Yogie, yang bareng Radi, jadi konseptor pembuatan mural tersebut.
Mural yang berarti lukisan pada permukaan yang lebar, memang terasa lebih legal dibandingkan dengan graffiti yang berkesan liar. "Bedanya sih, mungkin hanya pada medianya aja ya. Kalau graffiti banyak pake cat semprot, sementara mural make cat tembok. Kalau nyeni atau nggaknya ya, tergantung yang liat. Nggak ada parameter khusus," lanjut Yogie.
Senada dengan Yogie, Roy pun bilang kalau bagus atau jelek itu relatif. "Susah sih, kalau mau bilang bagus atau jelek. Isi tulisan-tulisannya, mungkin dibilang jelek tapi malah keinget terus sama yang baca. Tapi graffiti di film Alexandria saya bilang butut, sementara orang lain mungkin bilang itu bagus," tandas Roy sembari memberi contoh.
Legal atau nggaknya sebuah karya di jalanan, bagi Roy yang juga lulusan FSRD ini, tetap dinilai sebagai sebuah karya. "Di Jogja, graffiti dan mural malah dilegalkan. Pemerintah setempat ngebolehin, bahkan menyediakan lahan untuk para street art berkarya. Sementara di Bandung, belum ada pelegalan seperti itu. Beda ceritanya kalau lu punya duit," katanya sedikit berapi-api.
Alih-alih sebagai tindakan vandal, graffiti, mural, tagging, dan sebagainya adalah merupakan kebebasan berekspresi. Tetapi, kebebasan berekspresi saat ini masih didominasi oleh kaum berduit, yang mampu membeli tempat untuk menumpahkan kreativitasnya. Sementara para seniman jalanan, mesti sembunyi-sembunyi atau malah kejar-kejaran dengan pihak aparat hanya untuk berkreasi. "Seniman yang jelas-jelas bikin karya di privat place aja sempat dibakar aparat, apalagi street art yang berkarya di public space," lanjut Roy.
Setiap seniman punya style masing-masing untuk mengekspresikan karyanya. Makanya, tidak sedikit seniman yang malah "bersaing" untuk bisa menciptakan karya bagus di tempat yang lebih lebar, misalnya, atau untuk meraih kepopuleran. Selain saingan, ada juga proses pembelajaran yang diturunkan dari seniman yang tergolong kelas senior kepada juniornya. "Yang baru belajar biasanya jadi kenek dulu. Kerjaannya masih sebatas ngewarnain, atau bantuin yang gampang. Seniornya, yang bikin sketsa di kertas dan di dinding," ujar Roy.
Proses bikin graffiti atau mural kurang lebih sama. Pertama, sketsa dibuat pada kertas, lalu kemudian sketsa tersebut dipindahkan ke dinding. "Yang lebih gampang sih, si sketsa udah "ditembakkin" pake proyektor, jadi nggak perlu bikin sketsa di tembok. Tapi, ya, gengsinya mungkin lebih turun kalau dibantu pake proyektor," kata Roy lagi.
Nggak sedikit duit yang dikeluarin untuk bikin satu graffiti atau mural. "Untuk bikin gambar di tembok yang berukuran sedang, bisa habis kira-kira dua puluh kaleng cat semprot. Sementara ini (garasi distro yang sedang dibuat graffiti-red) abis 40an kaleng," jelas Roy.
Sayang banget kan kalau hanya ngabisin cat semprot untuk tulisan-tulisan yang nggak ada maknanya, atau malah bikin sebel orang yang liat. Radi dan Yogie pun punya pendapat serupa. "Kalau mau bikin graffiti atau mural, mending sekalian yang edun, daripada hanya tulisan atau gambar yang teu kaharti."katanya.
Graffiti sampai kapan pun mungkin bakal jadi kontroversi. Di satu pihak bakal bilang kalau graffiti itu perbuatan vandal, tapi pihak yang lain mengartikan seni, kebebasan berekspresi. Lain halnya di Yogyakarta, yang setiap seniman bebas berkarya, pihak pemerintah pun nggak perlu repot-repot ngejar-ngejar seniman yang bandel. Karya yang nggak bikin sakit mata, lebih-lebih sakit hati, tentu bakal diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Kebebasan berekspresi bisa saja diredam, tapi nggak bisa dihentikan.*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment